Tafsir Surat Al Ikhlas dan Keutamaan Membacanya
Surat Al-Ikhlas
(Arab:الإخلاص, “Memurnikan Keesaan Allah”) adalah surah ke-112 dalam
al-Qur’an. Surah ini tergolong surah Makkiyah, terdiri atas 4 ayat dan
pokok isinya adalah menegaskan keesaan Allah sembari menolak segala
bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Kalimat inti dari surah ini, “Allahu
ahad, Allahus shamad” (Allah Maha Esa, Allah tempat bergantung), sering
muncul dalam uang dinar emas pada zaman Kekhalifahan dahulu. Sehingga,
kadang kala kalimat ini dianggap sebagai slogan negara Khilafah
Islamiyah, bersama dengan dua kalimat Syahadat.
Asbabun Nuzul Surat Al Ikhlas
Ada beberapa hadits yang menjelaskan Asbabun Nuzul surah ini yang
mana seluruhnya mengacu pada inti yang sama yaitu jawaban atas
permintaan penggambaran sifat-sifat Allah dimana Allah itu Esa
(Al-Ikhlas 112:1), segala sesuatu tergantung pada-Nya (Al-Ikhlas 112:2),
tidak beranak dan diperanakkan (Al-Ikhlas 112:3), dan tidak ada yang
setara dengan Dia (Al-Ikhlas 112:4).
Dilihat dari peristiwa paling pertama, Abdullah bin Mas’ud
meriwayatkan bahwa sekelompok Bani Quraisy pernah meminta Nabi Muhammad
untuk menjelaskan leluhur Allah dan kemudian turun surah ini. Riwayat
lain bersumber dariUbay bin Ka’ab dan Jarir bin Abdillah yang
menyebutkan bahwa kaum Musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad,”Jelaskan
kepada kami sifat-sifat Tuhanmu.” Kemudian turun surah ini untuk
menjelaskan permintaan itu.
Dalam hadits ini, hadits yang bersumber dari Jarir bin Abdullah
dijadikan dalil bahwa surah ini Makkiyah. Selain itu dari Ibnu Abbas dan
Sa’id bin Jubair menyebutkan bahwa kaum Yahudi yang diantaranya Kab bin
Ashraf dan Huyayy bin Akhtab datang menemui Nabi dan bertanya hal yang
sama dengan hadits pertama, kemudian turun surah ini. Dalam hadits ini
Sa’id bin Jubair menegaskan bahwa surah ini termasuk Madaniyah. Dan juga
riwayat Qatadah menyebutkan Nabi Muhammad didatangi kaum Ahzab
(Persekutuan antara kaum Bani Quraisy, Yahudi Madinah, Bani Ghatafan
dari Thaif dan Munafiqin Madinah dan beberapa suku sekitar Makkah) yang
juga menyanyakan gambaran Allah dan diikuti dengan turunnya surah ini.
Karena adanya berbagai sumber yang berbeda, status surah ini Makkiyah
atau Madaniyah masih dipertanyakan dan seolah-olah sumber-sumbernya
tampak kotradiksi satu-sama lain. Menurut Abul A’la Maududi, dari
hadits-hadits yang meriwayatkannya, dilihat dari peristiwa yang paling
awal terjadi, surah ini termasuk Makkiyah. Peristiwa yang pertama
terjadi yaitu pada periode awal Islam di Mekkah yaitu ketika Bani
Quraisy menanyakan leluhur Allah. Kemudian peristiwa berikutnya terjadi
di Madinah dimana orang Nasrani atau orang Arab lain menanyakan gambaran
Allah dan kemudian turun surah ini.
Menurut Madudi, sumber-sumber yang berlainan tersebut menujukkan
bahwa surah itu diturunkan berulang-ulang. Jika di suatu tempat ada Nabi
Muhammad dan ada yang mengajukan pertanyaan yang sama dengan peristiwa
sebelumnya, maka ayat atau surah yang sama akan diwahyukan kembali untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Selain itu, bukti bahwa surah ini
Makkiyah adalah ketika Bilal bin Rabah disiksa majikannya Umayyah bin
Khalaf setelah memeluk Islam. Saat disiksa ia menyeru, “Allahu Ahad,
Allahu Ahad!!” (Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Esa!!). Peristiwa
ini terjadi di Mekkah dalam periode awal Islam sehingga menunjukkan
bahwa surah ini pernah diturunkan sebelumnya dan Bilal terinspirasi ayat
surah ini.
Pendapat lain yaitu menurut as-Suyuthi. Menurutnya kata
“al-Musyrikin” dalam hadits yang bersumber dari Ubay bin Ka’ab tertuju
pada Musyrikin dari kaum Ahzab, sehingga mengindikasikan bahwa surah ini
Madaniyyah sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Dan dengan begitu
menurutnya tidak ada pertentangan antara dua hadits tersebut jika surah
ini Madaniyah. Keterangan ini diperkuat juga oleh riwayat Abus Syaikh di
dalam Kitab al-Adhamah dari Aban yang bersumber dari Anas yang
meriwayatkan bahwa Yahudi Khaibar datang menemui Nabi dan berkata, “Hai
Abal Qasim! Allah menjadikan malaikat dari cahaya hijab, Adam dari tanah
hitam, Iblis dari api yang menjulang, langit dari asap, dan bumi dari
buih air. Cobalah terangkan kepada kami tentang Tuhanmu.” Nabi tidak
menjawab dan kemudian Jibril membawa wahyu surah ini untuk menjawab
permintaan Yahudi Khaibar. (https: //id.wikipedia. org)
Surat Al Ikhlas adalah Surat Makkiyah
Surat Al Ikhlas terdiri dari 4 ayat. Merupakan surat tauhid dan
pensucian nama Allah Taala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar tama
Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat ini disejajarkan dengan
sepertiga Al-Qur’an. Karena ada tiga prinsip umum: tauhid, penerapan
hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari Kiamat.
Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk
membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, hingga pahalanya disamakan
dengan orang membaca sepertiga Al-Qur’an.
Lafadz Surat Al Ikhlas
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
- Katakanlah: “Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
- Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
- Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
- Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Makna Mufradat Surat Al Ikhlas:
- Satu Dzat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. أحد
- Dapat mencukupi semua kebutuhan sendirian. الصمد
- Sepadan, sama, dan tandingan. كفؤاً
Syarah Surat Al Ikhlas
Inilah prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. Beliau
pun menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tauhid
dan beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini
Allah memerintahkan beliau agar mengatakan, “Katakan, ‘Dialah Allah yang
Esa.” Katakan kepada mereka, ya Muhammad, “Berita ini benar karena
didukung oleh kejujuran dan bukti yang jelas. Dialah Allah yang Esa.
Dzat Allah satu dan tiada berbilang. Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak
memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya. Satu perbuatan dan
selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.
Barangkali pengertian kata ganti ‘dia’ pada awal ayat adalah
penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan
tentang suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya.
Sebab kata ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan
berikutnya. Jika kemudian ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa
tenang. Barangkali Anda bertanya, tidakkah sebaiknya dikatakan, “Allah
yang Esa” sebagai pengganti dari kata, “Allah itu Esa.” Jawabannya,
bahwa ungkapan seperti ini adalah untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa
dan tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau dikatakan, “Allah yang Maha Esa,” tentu implikasinya mereka
akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu.
Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka
yakini. Oleh karena itu Allah berfirman,
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللَّهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾
“Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”
Artinya tiada sesuatu pun di atas-Nya dan Dia tidak butuh kepada
sesuatu pun. Bahkan selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu
berlindung kepada-Nya di saat sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah
dan penuh berkah semua nikmat-Nya.
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾
“Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”
Ini merupakan pensucian Allah dari mempunyai anak laki-laki, anak
perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai anak adalah bantahan
terhadap orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu
anak-anak perempuan Allah, terhadap orang-orang Nasrani dan Yahudi yang
mengatakan ‘Uzair dan Isa anak Allah. Dia juga bukan anak sebagaimana
orang-orang Nasrani mengatakan Al-Masih itu anak Allah lalu mereka
menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya.
Ketidakmungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya
bagian yang terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan
dan munculnya sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah
tidak membutuhkan anak karena Dialah yang menciptakan alam semesta,
menciptakan langit dan bumi serta mewarisinya. Sedangkan
ketidakmungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah aksioma bahwa anak
membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang menyusuinya. Maha
Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴿٤﴾
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
Ya. Selama satu Dzat-Nya dan tidak berbilang, bukan ayah seseorang
dan bukan anaknya, maka Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tiada yang
menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
sekutukan.
Meskipun ringkas, surat ini membantah orang-orang musyrik Arab,
Nasrani, dan Yahudi. Menggagalkan pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang
mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan, juga terhadap Nasrani yang
berpaham trinitas, terhadap agama Shabi’ah yang menyembah
bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang
mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa
Allah mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Surat ini dinamakan Al-Ikhlas, karena ia mengukuhkan keesaan Allah,
tiada sekutu bagi-Nya, Dia sendiri yang dituju untuk memenuhi semua
kebutuhan, yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tiada yang
menyerupai dan tandingan-Nya. Konsekuensi dari semua itu adalah ikhlas
beribadah kepada Allah dan ikhlas menghadap kepada-Nya saja.
Sumber: http://www. dakwatuna. com
Sebab Diturunkan Dan Penamaan Surat Al Ikhlas
Sebab diturunkannya surat Al Ikhlas dikarenakan kaum musyrikin
menanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Nasab
Allah,Maka turunlah surat ini
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ: أَنَّ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” يَا مُحَمَّدُ [ص:144] ، انْسُبْ لَنَا
رَبَّكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {قُلْ هُوَ
اللَّهُأَحَدٌ، اللَّهُ الصَّمَدُ} [الإخلاص: 2] لَمْ يَلِدْ، وَلَمْ
يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ”
“Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab berkata bahwasanya orang-orang
musyrikin berkata kepada nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai
Muhammad sebutkan kepada kami tentang nasab Robbmu.” Maka Allah
Subhanahu wata’ala menurunkan surat ini yang artinya : “Katakanlah
(wahai Muhammad) Dia lah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta
segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada
sesuatu yang setara denganNya.” (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah, Al Hakim, ini lafadz yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Pada
lafadz Imam Tirmidzi yang serupa dengan lafadz diatas dihasankan oleh
Syaikh Albani di dalam shohih wa dhoif Sunan Tirmidzi).
Para pembaca yang semoga Allah berkahi, dinamakan surat Al Ikhlas
dikarenakan pada surat ini terdapat penjelasan tentang pensucian yang
sempurna untuk Allah ( tafsir Juz Amm karya Syaikh Utsaimin Hal.351
Maktabah Syamilah)
Kandungan Surat Al Ikhlas
Ayat Pertama Surat Al Ikhlas
( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ )
Berkata I’krimah, ketika yahudi berkata : “Kami beribadah kepada
Uzair anak Allah” Nasharo berkata “kami beribadah kepada Al masih (Isa
bin Maryam)”, berkata majusi (penyembah api) kami “beribadah kepada
matahari dan bulan”. Dan orang-orang musyrikin berkata “kami beribadah
kepada berhala.” Maka Allah turunkan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam : قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Maknanya Dialah Allah yang satu yang tidak ada sebanding denganNya,
tidak ada pembantu bagi Allah, tidak ada yang setara dengan Allah, tidak
ada yang serupa dan tidak ada yang sama dengan Allah. Pada lafadz
diatas tidak ditetapkan pada selain Allah. Namun ditetapkan hanya pada
Allah saja. Dikarenakan Allah sempurna pada seluruh sifat dan
perbuatannya. (lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 8 hal.414)
Para pembaca yang semoga Allah Subhanahu wata’ala berkahi, setelah
kita memahami kandungan ayat pertama, maka mari kita beramal dengan
yakin bahwa sepantasnya Allah yang berhak diberikan ibadah kepadaNya
secara keseluruhan, kita tidak menjadikan tandingan bagi Allah pada
ibadah kita.
Dan seharusnya kita murnikan ibadah dengan mengikuti cara ibadah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Itulah ibadah yang paling
benar, paling mudah dan paling menenangkan, sehingga degan demikian
telah terwujudlah syahadat kita yakni artinya: tidak ada yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah Dan bahwasanya Muhammad adalah
Rasulullah.
Ayat Kedua Surat Al Ikhlas
( اللَّهُ الصَّمَدُ )
Maknanya adalah Allah Subhanahu wata’ala memiliki kesempurnaan sifat
yang mulia yang seluruh makhluk meminta seluruh kebutuhan dan keinginan
pada Allah. Allah adalah pemimpin. Dan Allah tidak makan dan tidak
minum, dan Allah maha kekal. (diringkas dari beberapa kitab : tafsir
Thobari, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Sa’adi, tafsir Juz Amm karya Syaikh
Utsaimin, dan tafsir Muyassar).
Pada ayat kedua ini penulis mengajak para pembaca agar menujukan
permintaan hanya kepada Allah saja. Ketika kita berdo’a agar ditambahkan
rezki atau kita berdo’a yang lainnya, maka hendaknya hanya meminta
kepada Allah saja, tidak meminta kepada orang yang sudah mati atau
dukun.
Karena do’a adalah ibadah yang harus diberikan hanya kepada Allah
Subhanahu wata’ala. Dan apabila berdo’a kepada Allah lalu menjauhi
perkara-perkara yang haram maka do’a akan dikabulkan.Sebagaimana Allah
berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a
kepadaKu. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman
kepadaKu agar mereka memperoleh kebenaran.” (Al- Baqaroh: 186).
Ayat Ketiga Surat Al Ikhlas
( لَمْ يَلِدْ، وَلَمْ يُولَدْ )
Maknanya adalah Allah tidak butuh anak, tidak butuh orang tua atau
istri. Disebabkan sempurnanya kekayaan Allah Subhanahu wata’ala . Dan
dikarenakan tidaklah sesuatu yang dilahirkan melainkan akan mati dan dan
tidaklah sesuatu yang mati melainkan diwarisi (orang lain). Sebagaimana
hadits dari Abu A’liyah secara mursal:
“Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan dikarenakan tidaklah
sesuatu yang mati melainkan akan diwarisi (orang lain), dan Robb kita
tidak mati dan tidak akan mewariskan, tidak ada yang setara, sama dan
sebanding bagi Allah. (Hadits riwayat Tirmidzi). Dan hadits ini ada
pendukungnya dari hadits Jabir.
Dan sesungguhnya pujian Allah tidak akan musnah dan tidak akan
diwarisi (kami kumpulkan dari beberapa kitab : tafsir Thobari, tafsir
Ibnu katsir, tafsir Karimmurrohman karya Syaikh Assa’dy, tafsir Juz Amm
karya Syaikh Utsaimin dan Fathul Baari syarh Shohih Bukhori ).
Ayat Keempat Surat Al Ikhlas
( وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ )
Maknanya adalah tidak ada yang serupa dan setara dengan Allah, tidak
ada sesuatu apapun yang sama dengan Allah, tidak sama pada nama-nama
Allah, tidak pula pada sifat-sifatNya, dan tidak pula sama dengan
perbuatan-perbuatan Allah. Dan Maha suci Allah sehingga pantaslah Allah
tiadakan / menolak adanya bapak atau anak atau yang semisal dengan
Allah.
Keutamaan Surat Al Ikhlas
- Surat Al Ikhlas Sebanding Dengan Sepertiga Al Qur’an. Dalam hadits dari Abu Darda’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ
ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟» قَالُوا: وَكَيْفَ يَقْرَأْ ثُلُثَ الْقُرْآنِ؟ قَالَ:
«قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ»
“Apakah salah seorang dari kalian mampu membaca sepertiga Al Qur’an
dalam satu malam? Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sebanding dengan sepertiga Al Qur’an” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim
dan ini lafadz Muslim).
Maksud dari surat Al Ikhlas adalah sepertiga Al Qur’an bukanlah kita
mencukupkan baca surat Al Ikhlas tiga kali kemudian tidak membaca
surat-surat yang lain yang ada dalam Al Qur’an. Namun maksud sebanding
sepertiga Al Qur’an adalah didalam Al Qur’an disebutkan tiga hal :
- Kisah-kisah
- Hukum-hukum
- Sifat-sifat Allah
Pada surat Al Ikhlas ini hanya disebutkan sifat-sifat Allah saja
sehingga sebanding dengan sepertiga Al Qur’an. Dan juga dikatakan
maknanya pahala yang membacanya dilipat gandakan sekedar atau sebesar
pahala orang yang membaca sepertiga Al Qur’an.
- Siapa Yang Membacanya Maka Baginya Surga. Di dalam hadits dari Abu Hurairah berkata aku bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu seseorang yang sedang membaca Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Telah ditetapkan bagimu, maka laki-laki itu bertanya, apa yang telah
ditetapkan bagiku wahai Rasulullah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda Jannah (surga)”. (Hadits riwayat Tirmidzi, An
nasa’i, di shohihkan Syaikh Albani dalam shohih wa dhoif sunan An
nasa’i).
- Siapa Yang Berdo’a Didahului Dengan Penyebutan Sifat Allah Yang Ada Dalam Surat Ini Maka Allah Kabulkan Do’anya. Di dalam hadits diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah al Aslami dari bapaknya:
عن عبد الله بن بريدة الأسلمي عن أبيه قال سمع النبي صلى الله عليه وسلم
رجلا يدعو وهو يقول اللهم إني أسألك بأني أشهد أنك أنت الله لا إله إلا
أنت الأحد الصمد الذي لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد قال فقال والذي
نفسي بيده لقد سأل الله باسمه الأعظم الذي إذا
دعي به أجاب وإذا سئل به
أعطى
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seseorang berdo’a yang
dia ucapkan adalah Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dengan aku
bersaksi bahwasanya Kau adalah Allah tidak ada Ilah yang berhak di
ibadahi dengan benar melainkan Kau zat yang satu, zat yang semua makhluk
meminta kepadaMu, zat yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dan
tidak ada yang setara dengannya. Maka nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Demi zat yang jiwaku berada ditanganNya. Sungguh
laki-laki ini telah meminta kepada Allah dengan namaNya yang Agung yang
apabila seseorang berdo’a dengan sifat-sifat ini maka Allah kabulkan
dan apabila meminta dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya maka Allah
berikan (Hadits riwayat Ibnu Majah, Tirmidzi Dishohihkan Syaikh Albani).
Surat Al Ikhlas ini dibaca oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dishalat sunah sebelum subuh dirakaat kedua, pada shalat sunah
sebelum magrib dirakaat kedua, shalat setelah thowaf dirakaat kedua,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga membacanya ketika witir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar